cover
Contact Name
Ihda Shofiyatun Nisa'
Contact Email
jurnaljaksya@gmail.com
Phone
+6282137787572
Journal Mail Official
jurnaljaksya@gmail.com
Editorial Address
Jl. Manunggal No. 10-12, Sukolilo Tuban, Jawa Timur
Location
Kab. tuban,
Jawa timur
INDONESIA
The Indonesian Journal of Islamic Law and Civil Law
ISSN : -     EISSN : 28093402     DOI : https://doi.org/10.51675/jaksya.v2i2
Core Subject : Religion, Science,
JAKSYA : The Indonesian Journal of Islamic Law and Civil Law, Merupakan Jurnal yang diterbitkan oleh Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Tuban. Artikel yang dimuat didalam jurnal Jaksya melingkupi hukum Islam dan hukum perdata Islam.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 6 Documents
Search results for , issue "Vol 3 No 2 (2022): Oktober" : 6 Documents clear
Tinjauan Maqashid Shari’ah Terhadap Pola Penyesuaian Perkawinan Ngalor Ngulon di Nganjuk Muhammad Solikhudin; Lutfi Masruroh; Mochammad Agus Rachmatulloh
The Indonesian Journal of Islamic Law and Civil Law Vol 3 No 2 (2022): Oktober
Publisher : Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Tuban

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51675/jaksya.v3i2.241

Abstract

Perkawinan merupakan sesuatu yang dilakukan untuk menghalalkan antara laki-laki dan perempuan. Dengan memenuhi rukun dan syarat yang telah ditentukan. Namun pada kenyataannya di Desa Katerban ini terhalang oleh tradisi larangan perkawinan Ngalor Ngulon. Maka dari itu, peneliti tertarik untuk menelitinya agar pandangan masyarakat lebih luas mengenai pernikahan Ngalor Ngulon. Penelitian ini menggunakan pendekatan hukum normatif dan konseptual dengan jenis penelitian lapangan (field research) dan kepustakaan (library research). Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Praktik pola penyesuaian merupakan cara yang dilakukan oleh masyarakat yang mempercayai hukum adat setempat dan juga tetap melangsungkan perkawinan Ngalor Ngulon Desa Katerban Kecamatan Baron Kabupaten Nganjuk.. Ditinjau dari segi maqashid shari’ah dapat dipahami, Pola penyesuaian perkawinan adat Ngalor Ngulon cara yang digunakan masyarakat Desa Katerban yang masih tetap mempercayai adanya larangan adat perkawinan Ngalor Ngulon dan juga tetap melangsungkan perkawinan Ngalor Ngulon. Adapun praktik pola penyesuaiannya dengan cara merubah Kartu Tanda Penduduk, melangsungkan resepsi di rumah salah satu mempelai saja, dan melakukan tasyakuran. Proses atau cara tersebut dilakukan oleh salah satu mempelai dan mayoritas yang melakukannya adalah mempelai pria. Kedua, dari segi maqashid shari’ah masuk dalam tingkatan “dharuriyyat” (kebutuhan yang paling utama). Pada tingkatan ini masuk dalam hifdzu din dan hifdzu nasl.
Dilematik Penggunaan Ganja Medis di Indonesia (Tinjuan Analisis Perspektif Konstitusi Hukum di Indonesia dan Hukum Islam) Mir’atul Firdausi; Aufi Imaduddin; Faridatul Ulya
The Indonesian Journal of Islamic Law and Civil Law Vol 3 No 2 (2022): Oktober
Publisher : Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Tuban

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51675/jaksya.v3i2.254

Abstract

penggunaan ganja medis
Konsep Keadilan dalam Hukum Waris Muhammad Syahrur Elva Imeldatur Rohmah; Isniyatin Faizah
The Indonesian Journal of Islamic Law and Civil Law Vol 3 No 2 (2022): Oktober
Publisher : Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Tuban

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51675/jaksya.v3i2.255

Abstract

Konsep kewarisan Islam telah dipresentasikan dalam teks-teks yang rinci, sistematis, konkret dan realistis. Hal ini berimplikasi pada keyakinan ulama tradisionalis bahwa konsep kewarisan Islam tidak dapat berubah dan menolak segala ide pembaharuan. Salah satu ulama kontemporer yang melakukan kritik terhadap hukum waris Islam adalah Muhammad Syahrur. Syahrur menyatakan bahwa ayat waris yang ada dalam al-Qur’an menjelaskan tentang batasan maksimal yang berlaku bagi laki-laki dan batasan minimal yang berlaku bagi perempuan. Dari sisi persentase, bagian minimal bagi perempuan adalah 33.3%, sedangkan bagian maksimal bagi laki-laki adalah 66.6%. Dalam pandangan Islam, tujuan akhir hukum adalah keadilan, sehingga yang harus dicapai oleh sebuah sistem hukum universal mesti berorientasi pada keadilan terhadap manusia dan keadilan terhadap Tuhan. Islam sangat memperhatikan keadilan ketika menetapkan hukum waris. Jika sebelum Islam datang, perempuan tidak pernah dipertimbangkan untuk menjadi ahli waris (bahkan menjadi barang yang diwariskan), maka setelah Islam datang Allah mengangkat derajat perempuan dengan menjadikan perempuan sebagai ahli waris dan mendapatkan bagian harta waris. Namun dengan berkembangnya waktu dan zaman, hukum waris tersebut dirasa tidak mampu menjawab masalah yang timbul pada saat ini. Perempuan saat ini telah mengalami banyak kemajuan, ia tidak hanya berkiprah dalam ranah domestik saja namun juga publik. Perempuan ikut bekerja dan menanggung beban nafkah keluarga. Konsep batas maksimal dan batas minimal dalam waris yang ditawarkan oleh Muhammad Syahrur dianggap sangat fleksibel dalam menjawab permasalahan hukum waris saat ini.Konsep kewarisan Islam telah dipresentasikan dalam teks-teks yang rinci, sistematis, konkret dan realistis. Hal ini berimplikasi pada keyakinan ulama tradisionalis bahwa konsep kewarisan Islam tidak dapat berubah dan menolak segala ide pembaharuan. Salah satu ulama kontemporer yang melakukan kritik terhadap hukum waris Islam adalah Muhammad Syahrur. Syahrur menyatakan bahwa ayat waris yang ada dalam al-Qur’an menjelaskan tentang batasan maksimal yang berlaku bagi laki-laki dan batasan minimal yang berlaku bagi perempuan. Dari sisi persentase, bagian minimal bagi perempuan adalah 33.3%, sedangkan bagian maksimal bagi laki-laki adalah 66.6%. Dalam pandangan Islam, tujuan akhir hukum adalah keadilan, sehingga yang harus dicapai oleh sebuah sistem hukum universal mesti berorientasi pada keadilan terhadap manusia dan keadilan terhadap Tuhan. Islam sangat memperhatikan keadilan ketika menetapkan hukum waris. Jika sebelum Islam datang, perempuan tidak pernah dipertimbangkan untuk menjadi ahli waris (bahkan menjadi barang yang diwariskan), maka setelah Islam datang Allah mengangkat derajat perempuan dengan menjadikan perempuan sebagai ahli waris dan mendapatkan bagian harta waris. Namun dengan berkembangnya waktu dan zaman, hukum waris tersebut dirasa tidak mampu menjawab masalah yang timbul pada saat ini. Perempuan saat ini telah mengalami banyak kemajuan, ia tidak hanya berkiprah dalam ranah domestik saja namun juga publik. Perempuan ikut bekerja dan menanggung beban nafkah keluarga. Konsep batas maksimal dan batas minimal dalam waris yang ditawarkan oleh Muhammad Syahrur dianggap sangat fleksibel dalam menjawab permasalahan hukum waris saat ini.
Anggota Sujud dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadis (Kajian Empat Mazhab Fikih) Nur Azizah
The Indonesian Journal of Islamic Law and Civil Law Vol 3 No 2 (2022): Oktober
Publisher : Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Tuban

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51675/jaksya.v3i2.277

Abstract

Abstrak: Amalan yang pertama kali dipertanggungjawabkan di akhirat kelak adalah ibadah salat, sehingga sebagai seorang muslim wajib memahami syari’at Islam yang berkaitan dengan salat baik salat fardhu ataupun salat sunnah, kedudukan salat pada hakikatnya sudah disinyalir dalam ajaran Islam agar dilaksanakan setiap muslim dalam keadaan apapun selama tidak dalam keadaan yang menghalangi dirinya untuk melaksanakan salat seperti haid, nifas, dan sebagainya, keadaan normal walaupun seseorang itu dalam keadaan sakit ataupun bepergian tetap diwajibkan untuk melaksanakan salat. Tuntunan Islam bagi setiap muslim untuk melaksanakan salat dalam keadaan sakit meliputi beberapa tahapan yaitu dengan berdiri, apabila tidak mampu maka dapat melaksanakannya dengan duduk, tidur miring, kemudian terlentang dan alternatif terakhir adalah dengan isyarat, kemudian bagi seseorang yang bepergian dengan jarak tempuhnya yang jauh maka dalam Islam diberikan sebuah keringanan dengan jamak/qasar. Pentingnya ibadah salat maka rukun, syarat sah dan hal yang membatalkan salat haruslah diketahui oleh setiap muslim, seperti halnya dalam rukun salat terdapat gerakan sujud dalam setiap rakaat. Sujud sendiri merupakan posisi menurunkan seluruh anggota tubuh menghadap kepada tempat sujud dengan posisi 7 anggota sujud yang harus berada di tanah (tempat sujud). Sujud merupakan posisi terendah seorang makhluk kepada tuhan-Nya karena dalam sujud seseorang memposisikan dirinya adalah seseorang yang membutuhkan tuhan sehingga dalam pelaksanaannya pun harus sesuai dengan syari’at Islam yang berlaku. Namun masih belum dijelaskan secara detil aturan gerakan yang sesuai tuntunan syari’at sehingga membutuhkan sumber hukum Islam yang lainnya yaitu as-sunnah/hadis.
Talak Tiga Sekaligus Perspektif Syekh Wahbah Al Zuhayli dan Kompilasi Hukum Islam Masykurotus Syarifah; Mohammad Suadi
The Indonesian Journal of Islamic Law and Civil Law Vol 3 No 2 (2022): Oktober
Publisher : Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Tuban

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51675/jaksya.v3i2.285

Abstract

Perkawinan dalam syariat Islam merupakan suatu wujud perjanjian yang suci dan kokoh, sehingga keberlangsungannya merupakan suatu tujuan yang sangat dikehendaki untuk dicapai oleh Islam, namun tidak semua perkawinan mampu dipertahankan oleh pasangan suami istri dan sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang berujung perceraian atau talak, bahkan sampai terjadi suami mengucapkan talak tiga sekaligus. Tulisan ini merupakan analisis terhadap pandangan Syekh Wahbah al Zuhayli dan Kompilasi Hukum Islam tentang talak tiga sekaligus. Tulisan ini memanfaatkan studi kepustakaan sebagai pisau bedah kajian yang data-data primernya diolah secara kualitatif. Tulisan ini menunjukkan bahwa: Pertama, dengan menganalisa pendapat Syekh Wahbah al Zuḥaylī tentang talak tiga sekaligus kemudian disandingkan dengan konteks talak di Indonesia berdasarkan Kompilasi Hukum Islam. Pemikiran tentang penetapan talak relevan dengan situasi dan kondisi yang ada di Indonesia dan dapat mengharmonisasikan perbedaan antara ketentuan dalam KHI yang menyatakan bahwa talak hanya dapat dilaksanakan di pengadilan dan fikih yang menyatakan bahwa talak dapat dilaksanakan dimanapun tempatnya baik di pengadilan atau di luar pengadilan. Kedua, adanya perbedaan pandangan antara mayoritas ulama dengan KHI berkaitan dengan talak diluar Pengadilan baik talak satu, dua atau tiga (sekaligus).
Putusan Hakim Agama dalam Masalah Cerai Gugat Pada Suami yang Tidak Memberi Nafkah Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam Vita Firdausiyah Ainul
The Indonesian Journal of Islamic Law and Civil Law Vol 3 No 2 (2022): Oktober
Publisher : Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Tuban

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51675/jaksya.v3i2.286

Abstract

Abstrak: Dalam sebuah ikatan perkawinan, banyak suami istri bahkan belum melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dimana permasalahan yang sering muncul dalam suatu perkawinan yang sering menyebabkan istri mengajukan gugatan cerai kepada suaminya tidak lain karena suami tidak memberikan nafkah kepada istri. Oleh karena itu kasus ini merupakan kasus yang paling sering terjadi di Pengadilan Agama Kraksaan setelah dispensasi perkawinan, oleh karena itu penulis ingin membahas bagaimana putusan hakim agama dalam perkara perceraian yang digugat bagi suami yang tidak mencari nafkah di lingkungan agama Kraksaan. pengadilan dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif/penelitian lapangan (field research) dimana penelitian ini bersifat deskriptif. Metode pengumpulan data dilakukan melalui observasi, dan wawancara. Disimpulkan bahwa tata cara pelaksanaan gugatan di Pengadilan Agama Kraksaan harus memenuhi persyaratan antara lain buku nikah dan KTP. Masalah cerai gugat pada suami yang tidak memberikan nafkah kepada istri menurut hukum positif telah diatur didalam Pasal 19 huruf (f) PP Nomor 9 Tahun 1975, KHI Pasal 116 (f). Menurut hukum Islam yaitu memperhatikan qoidah fiqhiyyah dan juga dalam Al-Qur'an surah al Baqoroh ayat 229 jika dikuatirkan keduanya tidak dapat menjalankan hukum Allah, maka istri tidak bersalah menebus dirinya kepada suaminya sehingga bahwa dia dapat dipisahkan dari suaminya.

Page 1 of 1 | Total Record : 6